Identifikasi Kesulitan Belajar Pada Anak Pendidikan Usia Dini
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia, dengan belajar manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar.
Belajar bukan sekedar pengalaman. Belajar adalah suatu proses dan bukan suatu hasil, karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integratif dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai tujuan (Soemanto,1998).
Anak-anak dalam melakukan kegiatan pembelajaran tentunya tidak hanya bersifat fisik semata, tetapi juga melibatkan kemampuan mental anak. Kemampuan mental atau kejiwaan sangat diperlukan oleh anak yang akan menunjukkan kesiapan anak dalam belajar. Djamarah (2002), mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi akibat belajar adalah perubahan yang bersentuhan dengan aspek kejiwaan dan mempengaruhi tingkah laku.
Kemampuan mental masing-masing anak dalam menyerap stimulus yang masuk sebagai proses belajar berbeda antara satu anak dengan anak yang lain. Menurut Soemanto (1990), melihat ini sebagai akibat dari latar belakang hereditas dan lingkungan yang berbeda pula, sedangkan Thorndike (dalam Dalyono, 2001) mengemukakan bahwa kemampuan mental yang berbeda pada masing-masing individu disebabkan oleh perbedaan operasi yang ada dari sel-sel otak, alat-alat indera serta bagian-bagian lain dari sistem syaraf dari otak.
Aktifitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Demikian kenyataan yang sering dijumpai pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktifitas belajar.
Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individu ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku dikalangan anak didik. Siswa yang tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar. Menurut Djamarah (2002) bahwa gangguan yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan belajar dapat berupa sindrom psikologis yang dapat berupa ketidakmampuan belajar (learning disability).
Sindrom berarti gejala yang muncul sebagai indikator adanya ketidaknormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar anak. Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar.
Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena faktor intelligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain di luar intelligensi. Gangguan belajar dapat meliputi ketidakmampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademik.
Perbedaan individual anak didik memang merupakan faktor yang akan menentukan proses belajar. Secara umum apabila seseorang dapat mengikuti pelajaran dengan baik tanpa adanya gangguan, perbedaan individu tersebut tidak akan nampak secara signifikan. Namun akan muncul masalah apabila kemampuan anak disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakmampuan belajar (learning disability) karena faktor sindrom psikologis.
Menurut Djamarah (2002), sindrom psikologis dapat berupa ketidakmampuan belajar (learning disability) yang berarti adanya gangguan yang muncul sebagai indikator keabnormalan psikis yang menimbulkan gangguan belajar pada siswa.
Sindrom psikologis dalam gangguan belajar dapat berupa disleksia yaitu gangguan atau ketidakmampuan belajar dalam hal membaca, disgrafia yaitu gangguan atau ketidakmampuan belajar dalam hal menulis, diskalkulia yaitu gangguan atau ketidakmampuan belajar dalam hal berhitung dan gangguan konsentrasi.
Ketidakmampuan belajar pada anak usia dini, maka hal yang perlu diperhatikan antara lain :
Bagi Sekolah
- Diharapkan kepada sekolah atau guru yang mengajar untuk tetap memperlakukan mereka dengan perlakuan yang sama, dengan siswa lainnya, sehingga anak tidak merasa mengalami perbedaan terhadap siswa-siswa lainnya.
- Dalam memberikan tugas, anak tidak harus dituntut untuk dapat menyelesaikan sesuai harapan, mengingat kemampuan anak berbeda namun tetap diberikan dengan porsi yang sama.
- Pihak sekolah diharapkan dapat mencatat perkembangan kemampuan anak, khususnya anak yang mengalami ketidakmampuan belajar sehingga dapat diketahui kelebihan maupun kekurangannya dengan demikian dapat diberikan perlakuan yang sesuai dengan kemampuannya.
Bagi Orang Tua
- Dapat mengerti bahwa pada satu sisi sang anak memiliki kelebihan dan pada sisi yang lain mengalami kekurangan. Dengan demikian perlakuan terhadap anak tidak membedakan (bila mempunyai saudara yang lebih besar) dan mengerti bahwa hal tersebut disebabkan karena proses perkembangan psikologis yang belum matang.
- Anak dengan kekurangan tersebut tidak dituntut untuk dapat melakukan seperti temanteman lainnya, karena pada usia dini perkembangan kognitif dan psikomotorik masih dapat berkembang pada masa selanjutnya.
- Orang tua dapat lebihkooperatif dengan pihak sekolah khususnya dengan guru kelas sehingga informasi dari guru dapat digunakan sebagai dasar dalam pembentukan kematangan psikologis anak saat berada di rumah.
Referensi : Trubus Raharjo, Latifah Nur Ahyani (ISSN : 1979-6889)